Minggu, 19 Agustus 2018
Rabu, 15 Agustus 2018
Minggu, 12 Agustus 2018
Pengemis Air
Pengemis Air
Ayah…
Mengapa aku harus menggersangkan mahkotaku?
Mengapa kulitku keriput dan retak, tak sehalus kulit ibu di bingkai?
Mengapa aku jalannya bungkuk, tak seperti ibu di bingkai?
Kemana aku harus mengemis air?
Maafkan ayah…anakku
Dulu ayah menggersangkan belantara hijau
Dulu ayah mentanahkan belantara hijau
Dulu ayah terlalu sombong dengan ferrari ayah berawan hitam
Dulu ayah berpikir air tak akan pernah kiamat
Ayah terlalu rakus…
Ayah…
Dadaku sesak
Paru-paruku sakit...
Megapa kita harus membayar pajak untuk bernafas?
Aku terpanggang di negeri ini
Kemana aku harus melarikan diri?
Ayah…
Apa itu hujan ayah?
Aku sangat rindu hujan
Mereka berkata…hujan asam akan melanda negeri kita
Anakku…
Atmosfer bumi kita sudah bocor, dulu ayah menunda
menambalnya
Paru-paru bumi telah
botak, dulu ayah manggundulkannya
Ayahlah yang telah membunuh penangkap hujan
Kata ayah…usiaku 18 tahun, tapi aku sangat senja
Aku tidak tau usiaku yang sebenarnya
Bola mataku menjadi abu-abu
Tubuhku menciut
Aku tidak bisa berdiri tegak, tongkat emas teman setiaku
Di negeriku, segelas air lebih berharga nilainya
dibandingkan sebongkah intan.
Aku terpanggang di negeri ini
Apa salahku ayah?
Kemana aku harus berlari?
Kemana aku harus mengemis setetes air?
Maafkan ayah anakku…dulu ayah berkata “merekalah penyelamat
bumi”
Maafkan ayah anakku…ayahlah penyelamat bumi yang tertunda.
Kau adalah matahari, kami adalah bumi
Tanjung
Seulamat, 28 April 2009
Kau adalah
matahari, kami adalah bumi
Oleh Ramadhan
Ketika bulan melirikmu, janganlah kau terpesona
Ketika bintang membisikmu, janganlah kau terlena
Kau adalah matahari
Matahari yang menerangi jalan kami
Matahari yang menyinari rantai kekompakan kami
Kau adalah matahari
Kau tancapkan sinarmu dengan segudang misi
Kau disversikan janjimu dengan sejuta aksi
Bumi akan terus mengabsorbsi radiasi baktimu dan
berotasi pada peraturanmu
Kau tetap matahari…
Harapan…janganlah kau memanggang bumi
Bumi dan kami, di negeri geografi
Usungkan panji ilahi
Kuatkan iman yang membaja
Eratkan persatuan yang hakiki
Disini, di negeri geografi
Di bawah naunganmu matahari…
Bersama matahari matahari kita pelopori kebaikan
Bersama matahari kita akan ukir royalty abadi
Bersama matahari kita akan memiliki investasi ukhrawi
Di negeri kita, negeri geografi
Jangan sampai kita hanya menjadi orang pintar yang
menelurkan ide-ide
besar,
Sementara orang lain yang menetaskannya…
Walau masalah bagai angin ribut, tak usah kalang kabut
Walau masalah dating berebut, tak usah jadi pengecut
Bersama kita leburkan problema
Bersama kita tuntaskan keterpurukan
Bersama kita bisa…
Sekarang tiba waktunya
Kita pompa semangat yang sekarat
Kita hentak pikiran yang beku
Kita tuntun hati yang buta
Kita pulihkan dunia yang sedang lumpuh
Bersama kita melangkah menuju arah yang pasti
Menetas prestasi demi negeri geografi
Harapan itu masih ada…
Kita harus berani….
Di sini kita, bukan dia
Di sini kita, bukan mereka
Di sini kita, oleh kita untuk kita untuk negeri geografi
Wahai engkau matahari….
Ketika bulan melirikmu, janganlah kau terpesona
Ketika bintang membisikmu, janganlah kau terlena
Kau adalah matahari
Matahari yang menyinari jalan kami
Matahari yang menyinari kekompakan kami
Kau adalah matahari
Kau tancapkan sinarmu dengan segudang misi
Kau disversikan janjimu dengan sejuta aksi
Bumi akan terus mengabsorbsi radiasi baktimu dan
berotasi pada peraturanmu
Kau tetap matahari…
Harapan…
Janganlah kau berselingkuh di depan bumi
Janganlah kau memanggang bumi
Bumi itu adalah kami, di negeri geografi
Dan kau adalah matahari akan tetap dipanggil mengurai
saksi dikala nanti
Pengemis Bertongkat Emas
Pengemis
Bertongkat Emas
Oleh Ramadhan
Ayah…
Mengapa aku harus menggersangkan mahkotaku?
Mengapa kulitku keriput dan retak, tak sehalus kulit ibu di bingkai?
Mengapa aku jalannya bungkuk, tak seperti ibu di bingkai?
Kemana aku harus melepaskan dahaga?
Maafkan ayah…anakku
Dulu ayah menggersangkan belantara hijau
Dulu ayah membaraapikan belantara hijau
Dulu ayah terlalu sombong dengan ferrari ayah berawan hitam
Dulu ayah berpikir pelepas dahaga tak akan sirna
Ayah rakus…
Ayah…
Dadaku sesak
Paru-paruku sakit...
Mengapa ku harus bayar pajak untuk sekali hembus udara
Aku terpanggang di negeri ini
Kemana ku harus
mengungsi
Ayah…
Apa itu hujan ayah?
Aku sangat rindu hujan
Kata mereka…hujan
asam akan mewarnai negeri abu-abu ini
Anakku…
Selimut bumi
sudah bocor, dulu ayah menunda menambalnya
Paru-paru bumi telah botak, dulu ayah manggundulkannya
Ayah telah membobolkan si hijau si bank
hujan
Usiaku 18 tahun, tapi aku sangat senja
Bola mataku menjadi kuning
Tubuhku menciut
Aku tak bisa berdiri tegak, tongkat emas teman setiaku
Di negeriku,
segelas air lebih berharga nilainya dibandingkan sebongkah intan.
Aku terpanggang di negeri ini
Apa salahku ayah?
Kemana aku harus berlari?
Kemana aku harus mengemis setetes air?
Maafkan ayah anakku…dulu ayah berkata “merekalah penyelamat
bumi”
Maafkan ayah anakku…ayahlah penyelamat bumi yang tertunda.
Penambal Gulita
Banda aceh, maret
2009
Penambal Gulita
Oleh Ramadhan
Dari barat ia menatap bumi dengan senyuman
Menatap alam yang manis
Mensensor insan yang berkelana
Mengajak pepohonan bercengkrama dengannya
Bumi panik…
Tatkala ia berdiri tegak
Kemarahannya mengagetkan seluruh jagad
Memanggang wajah yang merah
Mengeringkan samudra yang luas
Dia…
Tetap nongkrong, melotot sang penghuni yang berpijak di
bumi Ilahi
Subhanallah…sinarnya yang tajam menembus dan menambal
gelapnya gulita
Perlahan redup, seakan ke peraduannya
Petangpun hadir
Sinarnya kembali menawan alam yang manis dengan sejuta
pesona
Alam tersenyum memeluk sinar tembaga
Mengapa alam bersedih?
Sinar sang surya meredupkan petang
Membawa lari emas yang bercahaya
Kuingin Memeluk Matahari
Banda Aceh, Maret
2009
Kuingin Memeluk
Matahari
Oleh Ramadhan
Kejamnya diriku tak memikirkan usiamu
Kejamnya diriku berpaling darimu
Kejamnya diriku rela
meninggalkan dirimu
Aku ingat cangkul emas yang selalu kau pikul
Daku pergi untuk kembali bersamamu
Membawa sejuta asa kupersembahkan untuk dirimu
Izinkan daku berjuang menangkis aral yang menantang dihadapanku
Merangkul impian, menerangi dunia bersamamu
Bunda…
Walau mata tak dapat melihat dirimu lagi
Walau telinga tak dapat mendengar jeritan tangis dirimu
lagi
Walau kaki tak dapat melangkah menuju arah mu lagi
Walau tangan tak dapat menjabat tanganmu lagi
Tapi…lidahku tidak akan pernah kelu merangkai doa
untukmu
Aku akan kembali menatap bulan di sana bersamamu
Ku ingin memeluk matahari pagi disana bersama
dirimu….bunda
Langganan:
Postingan (Atom)
Dinamika Atmosfer
Atmosfer adalah lapisan udara yang menyelimuti bumi. Untuk belajar lebih lanjut, silakan akses pada https://bit.ly/HandoutAtmosfer . Semoga...
-
https://drive.google.com/file/d/1MFKRSdrR7iBgrF3flbPHJXiPLMjlL-c-/view?usp=sharing
-
https://drive.google.com/file/d/1nkbNQ6Mp9URtD0JllYU896If6U06DyPk/view?usp=sharing